Selasa, 29 November 2011

BIOGRAFI SINGKAT
RIWAYAT HIDUP K.H. M. MALIKI SYAFII
(PENDIRI PONDOK PESANTREN ASSYAFIIYAH)
aba-maliki7
A. Asal-usul
Beliau mempunyai nama lengkap M. MALIKI SYAFII BIN SYAFII yang dilahirkan pada tanggal 30 Juni 1944 di desa Jatisari Kecamatan Glagah kabupaten Lamongan. Dengan memiliki seorang ayah yang bernama SYAFII dan ibu yang bernama NIHAYAH, serta mempunyai 5 anak yang masing-masing adalah Musidah, Nur Qomariyah, Uswatun Hasanah, M. Sholahuddin, dan Ach. Husnul Khitam. Beliau ditinggal wafat oleh ayah beliau saat masih berusia satu (1) tahun. Oleh sebab itu, beliaupun akhirnya diikutkan kepada ayah angkat beliau sendiri yang bernama K. M. Said dan juga Gus beliau yang bernama H. Hambali.
Jika dilihat dari sudut yang lain yaitu nasab, beliau termasuk seorang yang sangat baik juga terhormat garis keturunannya, yang mana sebagian orang mengatakan bahwa garis keturunan adalah suatu aspek yang sangat menentukan kewibawaan orang itu sendiri.
Setelah beberapa tahun berlalu, beliaupun semakin tumbuh besar. Di mana beliau sering membantu ayah angkat beliau, gus, dan tentunya ibu kandung beliau. Di samping itu, kehidupannya dilalui dengan bersikap mandiri. Dan begitu seterusnya sampai tumbuh menjadi seorang yang pemuda yang berjiwa besar. Bahkan pernah ada angan-angan bahwa beliau bisa menjadi orang alim, mengerti akan ilmu dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya pada orang lain, sehingga mulai saat itu beliau bertekad untuk mencari ilmu sebanyak mungkin dan semampu mungkin baik ilmu tersebut merupakan ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah secara langsung ataupun ilmu-ilmu yang lain, seperti ilmu sosial, ilmu jiwa ataupun ilmu-ilmu yang berhubungan dengan akal pikiran.
B. Pendidikan
K.H. M. Maliki Syafii atau yang sering dipanggil secara akrab dengan sebutan Aba Maliki termasuk salah seorang yang sangat tinggi keinginannya untuk menuntut ilmu. Dengan tingginya keinginan beliau tersebut, maka pada sekitar tahun 50-an dengan didukung sepenuhnya oleh ayah angkat beliau, memutuskan untuk pergi ke desa Bungah yang terletak di daerah kabupaten Gresik dan bersekolah di MINU Assaadah Sampurnan Bungah, sekaligus juga beliau “mondok” di desa tersebut yang mana pondok itu sendiri dikenal dengan sebutan “Pondok Pesantren Qomaruddin”, di mana pada saat itu masih di bawah asuhan K.H. Sholah Tsani yang dikenal tiap tahun selalu diperingati dengan diadakannya “Haul Bungah”.
Dalam usaha penuntutan ilmu di desa Bungah, beliau dikenal termasuk siswa atau santri yang di samping selalu menuntut ilmu dengan rajin. Beliau juga sangat mengutamakan “ta’dzim” kepada kyai, para ustadz ataupun guru-guru beliau. Tidak ketinggalan pula untuk melakukan “tirakat” (melakukan suatu perbuatan agar dapat mencapai tujuan yang dimaksud) dalam usaha beliau untuk menuntut ilmu, seperti halnya sholat malam, puasa, sering Melean dalu ataupun bentuk-bentuk tirakat yang lain. Walhasil, dalam waktu yang relatif singkat, beliupun dikenal sebagai seorang yang berilmu, berakhlaq mulia dan berbudi pekerti yang luhur baik di pondok ataupun di sekolah. Dengan arti semuanya bisa beliau dapatkan bukan hanya karena menjalani hari-hari di pondok ataupun di sekolah itu dengan apa adanya, akan tetapi semua itu bisa beliau dapatkan karena adanya kerja keras dan semangat pantang menyerah dari beliau.
Setelah menyelesaikan seluruh pendidikan dengan tuntas baik di pondok ataupun di sekolah dan sudah memperoleh ilmu serta merasakan kenikmatan hasil dari apa yang telah dilalui pada saat di pondok ataupun di sekolah, maka beliau memutuskan untuk melanjutkan studi ke pondok yang lain. Dan yang menjadi pilihan selanjutkan adalah salah satu pondok yang berada di desa Widang, Tuban yang dikenal dengan “Pondok Pesantren Langitan”.
Beliau mondok ke Langitan dengan hanya berbekalkan kemauan yang tinggi, keinginan yang kuat dan tanpa didukung oleh biaya. Meskipun demikian, keinginannnya untuk mondok sudah tidak dapat terbendung lagi. Dan pada akhirnya, sekitar pada awal tahun 60-an beliau berangkat dengan restu ayah angkat beliau, dan tentunya K.H. Sholah Tsani selau kyai di pondok pesantren Qomaruddin. Ketika sampai di sana, beliau langsung menuju “ndalem” kyai yang mana ketepatan pengasuh dari pondok Langitan tersebut adalah K.H. Abdul Hadi. Dan itulah awal pertemuan antara beliau dengan Kyai Abdul Hadi, yang mana selanjutnya Aba Maliki termasuk santri yang sangat dekat dengan Kyai Abdul Hadi. Setelah beliau menuju ndalem kyai dan meminta izin, restu dan doa mencari ilmu di sana, maka kyai pun memberikan izin, restu dan mendoakan beliau. Dengan itulah semakin yakin dan mantap untuk mencari ilmu di sana.
Setelah beliau resmi menjadi bagian dari pondok pesantren Langitan, maka beliaupun sudah bertekad untuk menuntut ilmu dengan sepenuh hati dan melakukan segala amaliyah yang dapat mendatangkan ilmu baik dhohir maupun batin. Memang pada hari-hari pertama beliau masih canggung, sering memikirkan rumah, ataupun keluarga. Namun setelah beberapa hari, beliau sudah mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru tersebut. Dan akhirnya beliaupun sudah bisa masuk di madrasah diniyah Al Falahiyah di pondok Langitan, tentunya dengan melewati ujian-ujian yang diberikan oleh ustadz-ustadz yang ada di sana terlebih dahulu.
Pada hari-hari selanjutnya dan sampai seterusnya, beliau menjalani hari demi hari dengan selalu mempergunakan waktu untuk menuntut ilmu. Bagaimana tidak, ba’da jamaah shubuh langsung dilanjutkan dengan mengaji Romo Yai sampai menjelang diniyah. Lalu pukul 07.00 waktu setempat, beliau langsung meneruskannya dengan sekolah diniyah sampai pukul 12.00 siang. Lalu setelah itu diteruskan dengan jamaah sholat dluhur dan disambung dengan sedikit membaca Al Quran. Setelah itu baru bisa istirahat sebentar. Kemudian, ba’da istirahat sebentar dilanjutkan dengan shalat jamaah ashar, lalu mengaji Romo Yai sampai menjelang waktu maghrib. Setelah datangnya waktu maghrib, dilaksanakanlah shalat jamaah maghrib kemudian setelah itu beliau meneruskan dengan membaca Al Quran yang sampai tiba waktu isya’ kemudian berjamaah shalat isya’. Setelah selasainya jamaah isya’ langsung diteruskan dengan kegiatan Taqror (istilah di pondok yang maknanya belajar bersama) sampai pukul 23.00 malam. Lalu beliau teruskan dengan tidur sebentar dan bangun lagi ketika kira-kira pukul 02.00 pagi yang mana waktu tersebut beliau pergunakan untuk shalat malam dan diteruskan dengan jamaah shalat shubuh lagi dan begitu seterusnya yang beliau lakukan secara terus-menerus setiap hari sampai beliau tergolong menjadi santri yang terpilih di pondok Langitan tersebut.
Karena kepatuhan semacam itulah beliau sering dipanggil oleh Romo Yai untuk datang ke Ndalem, baik untuk menemani Romo Yai mengobrol sambil memijat ataupun diberi nasihat-nasihat ataupu wejangan-wejangan (kata-kata yang bijak) yang sangat berarti dan bermanfaat bagi beliau. Dan sejak saat itu, hubungan antara beliau dengan Romo Yai semakin hari semakin akrab dan baik. Bahkan jika Romo Yai terkena sebuah udzur dan tidak bisa menunaikan tugas pada saat itu, maka Aba Maliki yang ditugaskan untuk menggantikan Romo Yai. Atau jika Romo Yai jika bepergian, maka beliau yang disuruh untuk menemani. Dan bahkan beliau yang menjadi penulis sekaligus penyalin dari sebuah kitab yang dikarang oleh Romo Yai tersebut. Malahan pada saat beliau jatuh sakit, sampai-sampai Romo Yai yang datang untuk menjenguk dan bahkan sampai memijat beliau.
Di sana beliau adalah termasuk santri yang sangat senang untuk mendalami ilmu alat khususnya ilmu nahwu. Beliau telah mempelajari semua kitab nahwu, baik mulai dari kitab Nahwul Wadih sampai Alfiyah Ibnu Malik yang terkenal. Beliaupun juga sangat rajin dalam menghafal nadlom Alfiyah setiap hari beliau istiqomah menghafal nadloman tersebut baik di manapun beliau berada. Dan sama seperti umumnya orang yang menghafal kitab Alfiyah beberapa cobaan telah didapati disebabkan oleh penghafalan nadlom Alfiyah tersebut. Seperti halnya sakitan-sakitan sampai muntah darah, penyakit paru-paru ataupun cobaan-cobaan yang lain. Dan hampir tiap tengah malam saat beliau menghafalkan di makam kyai-kyai pondok Langitan terdahulu, beliau sering dihadapkan dengan sebuah mayit yang berbaring di pangkuan beliau. Namun beliau tetap sabar, tetap istiqomah dalam menghafalkan nadloman tersebut, sampai-sampai Aba Maliki dijuluki dengan nama “Shohibul Alfiyah” baik dari kalangan santri-santri sendiri maupun dari kalangan para alumni.
Memang terdapat sangat banyak sekali kenangan ataupun pengalaman yang beliau dapatkan ketika masih berada di pondok tersebut, baik mulai dari sesuatu yang menakutkan sampai dengan yang menggelikan. Di antaranya :
a. Pernah suatu ketika beliau hendak mandi di sungai yang terletak tidak jauh dari pondok. Beliau memang belum pernah sekalipun merasakan mandi di sungai itu, tetapi hanya sebatas melihat teman-teman yang mandi di sana, dan mereka pun tidak jarang untuk mengajak beliau mandi di sungai itu. Dengan rayuan dan bujuan teman-teman akhirnya beliau mau untuk diajak mandi di sungai. Suatu ketika pada saat teman-teman santri tidak ada di sekitar sungai, beliau pun mandi dengan tenang dan nyaman di sungai itu. Setelah beberapa saat, tiba-tiba beliau melihat ada seseorang yang berada agak menengah dari tempat beliau mandi dan ada yang mengatakan orang itu adalah keluarga beliau sendiri. Orang itu pun memanggil-manggil beliau seraya meminta tolong. Pada mulanya memang beliau agak merasa takut akan tetapi lama kelamaan beliau seakan-akan masuk dalam hipnotis orang itu dan akhirnya sedikit demi sedikit beliau melaju ke arah orang itu. Setelah berada di dekat orang itu, beliau diajak untuk menyelam ke dasar sungai, akan tetapi untungnya ada salah satu santri yang melihat kejadian itu dan dia langsung lompat ke sungai dan mencoba menolong beliau. Dengan susah payah akhirnya santri itu dapat menggapai tangan beliau dan langsung menarik beliau dari sungai, seketika itu juga beliau tersadar dari pengaruh semacam hipnotis tersebut tiba-tiba hilang. Dan akhirnya beliaupun selamat dan kejadian yang hampir merenggut nyawa itu. Keesokan harinya beliau jatuh sakit dan seperti biasanya Romo Yai langsung menjenguk beliau di kamar beliau sendiri. Sambil memijat beliau, Romo Yai pun memberitahukan kepada beliau bahwa sosok orang yang ada di sungai tersebut adalah makhluk halus dari bangsa jin dan ada yang mengatakan dari bangsa setan yang biasa disebut dengan kalap (istilah Jawa mengenai makhluk halus yang hanya terdapat di air). Di samping itu, Romo Yai memberikan sebuah amalan khusus kepada beliau agar dapat menjaga diri dhohir batin, dan pada saat itu pula Romo Yai melarang santrinya untuk mandi di sungai tersebut.
b. Juga pernah pada suatu saat terjadi sedikit kelucuan, yaitu ketika beliau melakukan suatu “Tirakat” dengan menggantungkan kaki beliau ke batang ranting suatu pohon di pondok tersebut selama beberapa malam dengan tujuan untuk mendapatkan sebuah ilmu “Kanuragan” (semacam ilmu kebathinan). Dan memang pada saat itu beliau termasuk santri yang senang mendalami ilmu kanuragan tersebut. Setelah beliau melakukan tirakat beberapa malam dan selama itu tak ada satu orang pun yang melihat beliau kecuali hanya satu atau dua santri lain dan itupun sudah wajar bagi mereka bila ada seorang santri yang melakukan sebuah tirakat. Maka pada suatu keesokan hari, beliau dipanggil oleh Romo Yai. Dan ketika beliau datang, Romo Yai pun langsung menanyakan tentang mengapa beliau melakukan hal tersebut?. Beliaupun heran, kenapa Romo Yai bisa tahu ? dan pada saat itu beliau hanya bisa menundukkan kepada karena malu. Lalu Romo Yai pun mengatakan pada beliau bahwa orang yang memiliki ilmu kanuragan tersebut, mereka masih memiliki musuh-musuh meskipun orang itu mempunyai kesaktian, tapi orang yang selalu taat kepada Allah maka jangankan manusia, malaikat pun takut/sungkan kepada orang tersebut. Ungkapan tersebut selalu teringat dengan baik oleh beliau, dan tidak jarang pula ungkapan tersebut disampaikan ketika dalam keadaan mengajar.
Setelah semuanya berlalu yaitu tepatnya pada bulan Ramadhan, beliau berangkat mencari ilmu di pondok pesantren di Lasem yang pada saat itu diasuh oleh K.H. Ma’shum untuk mengaji “kilatan” (istilah pondok untuk mengaji di bulan Ramadhan) di mana itu adalah merupakan kebiasaan istiqomah (tetap, terus menerus) beliau mulai dari masih berada di pondok Qomaruddin, akan tetapi pada Ramadhan kali inilah terdapat suatu peristiwa yang tidak mungkin untuk beliau lupakan, yang mana dalam Ramadhan kali ini beliau telah memperoleh ijazah khusus secarang langsung dari Al Maghfurlah K.H. Ma’shum berupa ijazah Alfiyah. Awalnya pada hari-hari menjelang akhir di bulan Ramadhan yaitu sekitar malam yang ke-21 dan tepatnya sehabis shalat Tarawih, beliau dipanggil ke Ndalem oleh mbah Ma’shum untuk memijatnya. Mereka saling kenal dan bahkan bisa dibilang sangat akrab, karena tiap tahun beliau selalu mengaji kilatan di pondok tersebut. Singkatnya pada saat beliau baru mulai memijat, tiba-tiba mbah Ma’shum langsung menyuruh beliau untuk menghafalkan nadloman Alfiyah. Sebelumnya beliaupun sudah tuntas dalam menghafalkan seluruh nadloman tersebut, sehingga beliaupun pasrah dan siap untuk memulai hafalan tersebut. Akhirnya beliaupun menghafalkan nadloman tersebut baik mulai dari awal hingga akhir atau dari nadloman yang terakhir sampai kembali ke awal, atau dari tengah ke awal lalu ke akhir dan begitu seterusnya, atau yang dikenal dengan metode wolak-walik.
Setelah semua itu selesai dan tentunya dengan hasil yang sempurna di mana tepatnya menjelang waktu imsak, mbah Ma’shum pun mengesahan bahwa beliau memang sudah menguasai Alfiyah, serta akhirnya beliaupun diijazahi oleh Mbah Ma’shum untuk diajarkan kepada orang lain pada waktu nanti. Pada saat itu mbah Ma’shum berpesan kepada beliau agar ketika beliau mengajar nanti, beliau diharamkan membawa selembar pun kitab Nahwu, dan Alhamdulillah sampai sekarang pesan tersebut masih beliau pegang teguh baik di manapun beliau mengajar.
Singkatnya, setelah bulan Ramadhan telah lewat, beliau akhirnya kembali ke pondok Langitan di mana ketika sesampainya di sana, beliau semakin dikenal dengan “Shohibul Alfiyah” dan juga ditunjuk untuk mengajar di kelas 6 Diniyah yang pada saat itu merupakan kelas terfavorit.
Singkatnya, setelah beliau menyelesaikan studi di pondok Langitan tersebut, beliau lau melanjutkan studi ke pondok Lirboyo yang terletak di Kediri, yang pada saat itu sedang diasuh oleh K.H. Marzuki tentunya dengan anjuran dan ridlo K.H. Abdul Hadi selaku kyai beliau di pondok Langitan. Di masa beliau masih berada di pondok tersebut memang tidak ada perbedaan yang mencolok dengan dua pondok sebelumnya, dengan artian beliau selalu bisa menjalani hidu di sana dengan tekun dan rajin mencari ilmu serta melakukan amaliyah-amaliyah yang bisa mendatangkan ilmu tersebut.
Kemudian dari pondok-pondok tersebut, beliau akhirnya mengakhiri masa penuntutan ilmu, tentunya atas perintah ayah angkat serta pihak-pihak lain yang sangat bersangkutan dengan kehidupan beliau. Mau tak mau beliaupun akhirnya mengakhiri pendidikan yang dilaluinya. Tapi dari sudut yang lain pun, merasa yakin akan ilmu, wawasan, dan pengetahuan serta pengalaman untuk bisa diterapkan dan diajarkan pada kehidupan bermasyarakat nanti.
Setelah mengakhiri masa pendidikan beliau, akhirnya memutuskan untuk menetap sementara di rumah beliau sendiri, dengan tujuan agar dapat mengabdikan diri secara penuh untuk melayani dan membantu ibu, serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lain, di samping mengisi pengajian rutin di desa beliau tersebut. Sampai akhirnya dalam waktu yang cukup singkat, beliaupun menemukan sebuah desa yang lebih menantang untuk dapat menyebarkan ilmu. Penyebaran ilmu di desa tersebut atas perintah dari Romo Kyai Langitan, yang mana desa itu adalah tiada lain Sungonlegowo Bungah.
Desa Sungonlegowo merupakan suatu desa yang untuk pertama kali beliau melaksanakan dakwah setelah menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan izin dari para Kyai serta ustadz dan keluarga beliau. Dan dari situlah perjuangan Aba Maliki semuanya dimulai. Bahkan sampai bisa mendirikan beberapa madrasah dan masjid di beberapa tempat yang berbeda. Tidak ketinggalan pula pondok pesantren Assyafiiyah yang begitu megah ini telah beliau dirikan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat Islam.
Mungkin sementara inilah yang dapat disampaikan mengenai biografi dari Aba Maliki. Biografi dari Aba Maliki secara sempurna dan lengkap dapat diperoleh dengan cara anda dipersilahkan untuk silaturrahim di Pondok Pesantren Assyafiiyah Bungah Gresik Jawa Timur.
Tim Penyusun
(disadur dari berbagai sumb

Minggu, 27 November 2011

Keutamaan Bulan Muharram
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..” (QS. At-Taubah: 36)
Keterangan:
a. Yang dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab.
b. Disebut bulan haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliyah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan.
c. Az-Zuhri mengatakan,
كان المسلمون يعظمون الأشهر الحرم
“Dulu para sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, no.17301).
2. Dari Abu Bakrah radhiallahu‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
3. Dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Keterangan:
a. Imam An Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah.” (Syarah Shahih Muslim, 8:55)
b. As-Suyuthi mengatakan, Dinamakan syahrullah –sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini– karena nama bulan ini “Al-Muharram” nama nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama Shafar Awwal. Kemudian ketika Islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dengan Al-Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3:252)
c. Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham [arab: شهر الله الأصم ] (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, Hal. 34). karena itu, tidak boleh ada sedikitpun friksi dan konflik di bulan ini.
4. Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama. Hari itu adalah hari Asyura’. Orang Yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma, beliau menceritakan,
لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ . فَقَالَ « أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ » . فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. (HR. Al Bukhari)
5. Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan
Hasan Al-Bashri mengatakan,
إن الله افتتح السنة بشهر حرام وختمها بشهر حرام فليس شهر في السنة بعد شهر رمضان أعظم عند الله من المحرم وكان يسمى شهر الله الأصم من شدة تحريمه
Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 34)
Allahu a’lam